Palembang Kota Layak Huni: Tantangan dan Peluang

Oleh: Albar Sentosa Subari Unsri – Dewan Pakar Bakti Persada Masyarakat Sumatera Selatan
“Palembang Kota Layak Huni: Tantangan dan Peluang” menjadi tema utama dalam *Focus Group Discussion* (FGD) yang diselenggarakan atas kolaborasi antara **Bakti Persada Masyarakat Sumatera Selatan (BPMSS)** dengan **Pemerintah Kota Palembang**. Kegiatan ini dilaksanakan pada **Selasa, 28 Oktober 2025**, bertepatan dengan **peringatan Hari Sumpah Pemuda**, dan bertempat di **Rumah Parameswara, Pemerintah Kota Palembang**.
FGD tersebut menampilkan **enam pembicara**, baik dari unsur Pemerintah Kota Palembang maupun dari BPMSS. Dari pihak pemerintah hadir antara lain **Ketua Bappeda** dan **perwakilan Dinas Kesehatan Kota Palembang**. Sedangkan dari BPMSS, tampil tiga pembicara utama yang masing-masing menyampaikan pandangan dan solusi dari berbagai sudut pandang keilmuan.
Pertama, Prof. Dr. Tan Malaka dengan makalah berjudul “Kesehatan dan Sanitasi Lingkungan: Fakta, Tantangan, dan Peluang Palembang sebagai Kota Metropolitan.” Ia menyoroti pentingnya sistem sanitasi modern dan perilaku hidup bersih masyarakat dalam mewujudkan kota yang sehat.
Kedua, Prof. Dr. Ir. Achmad Syarifuddin, M.Sc., dengan makalah “Infrastruktur Penataan Kawasan Tepian Sungai Musi dan Anak-anak Sungainya: Mengatasi Kumuh dan Banjir serta Mengembangkan Potensi Wisata Perikanan.” Ia menekankan bahwa Sungai Musi dan anak-anak sungainya bukan hanya potensi alam, tetapi juga sumber ekonomi dan identitas budaya Palembang yang perlu dijaga bersama.
Ketiga, Prof. Dr. Abdullah Idi menyampaikan makalah berjudul “Partisipasi Aktif Masyarakat dalam Menjaga Lingkungan Kota yang Bersih, Indah, dan Rapi.” Ia mengingatkan bahwa kota layak huni tidak akan pernah tercapai tanpa keterlibatan masyarakat secara aktif dalam menegakkan disiplin sosial dan menjaga kebersihan lingkungan.
Menurut pengamatan penulis selaku kolumnis, keenam makalah yang disajikan memiliki keterkaitan erat satu sama lain, membentuk suatu sistem yang saling menopang. Pembangunan fisik tanpa diiringi pembangunan non-fisik, terutama dalam aspek budaya dan kesadaran masyarakat, akan menghasilkan capaian yang tidak maksimal.
Kita bisa melihat kenyataan di lapangan: rel kereta api listrik yang ditopang ratusan tiang penyangga kini terlihat kotor karena dicoret tangan-tangan jahil. Halte TransMusi yang baru direnovasi, keesokan harinya sudah dipenuhi coretan bahkan ada bagian yang rusak atau hilang. Begitu pula beberapa **aksesori Jembatan Ampera**, seperti lampu hias dan elemen estetika lainnya, banyak yang lenyap akibat ulah sebagian warga yang tidak bertanggung jawab.
Fakta-fakta ini menggambarkan bahwa persoalan utama bukan hanya pada infrastruktur, tetapi pada **mentalitas dan budaya masyarakat kota**. Tanpa adanya **rasa memiliki (sense of belonging)**, pembangunan yang sudah dilakukan pemerintah akan kehilangan makna.
Karena itu, untuk menjadikan **Palembang benar-benar sebagai Kota Layak Huni**, diperlukan sinergi antara pembangunan fisik dan pembinaan moral sosial warga. Pemerintah harus menguatkan pendidikan karakter warga kota melalui kampanye budaya bersih, disiplin, dan cinta lingkungan. Media massa, lembaga pendidikan, serta tokoh agama dapat menjadi mitra strategis dalam membentuk kesadaran kolektif ini.
Palembang memiliki sejarah panjang sebagai kota berperadaban tinggi sejak masa *Sriwijaya. Semangat itu harus dihidupkan kembali dalam konteks modern — dengan menjadikan kemajuan teknologi dan pembangunan kota sejalan dengan nilai-nilai budaya dan tanggung jawab sosial.
Hanya dengan cara itulah, cita-cita menjadikan Palembang sebagai Kota Layak Huni, Kota Berbudaya, dan Kota Beradab dapat benar-benar terwujud. Dan itu semua bermula dari kesadaran kecil di hati setiap warganya: bahwa mencintai kota berarti menjaganya dengan sepenuh hati.



