Inflasi, Antara Pasar Murah, Ayam Ras & Cabai yang Labil Emosi

AYO kita mulai dari sebuah pernyataan bijak dari tetangga sebelah rumah “Kalau harga naik, yang turun cuma napas”. Inilah nasib rakyat jelata ketika inflasi datang seperti mantan nggak diundang, tetap bikin sesak dada.
Di Palembang, Juni 2025 ini, inflasi sebesar 0,09% memang kelihatan kecil kayak cicilan paylater minggu pertama. Tapi kalau dikumpulin setahun, udah 2,14%, cukup bikin emak-emak was-was waktu nyari harga daging ayam, karena naiknya bukan main 4,37%!. Belum lagi cabai rawit yang naik 21,73%, udah kayak harga tiket konser K-pop waktu rebutan presale.
Daging ayam, beras, telur, dan angkutan udara, bukan daftar menu sahur, melainkan para pahlawan inflasi bulan ini. Yang paling mencolok ya si cabai rawit, yang sukses menyumbang inflasi 0,03% dengan gaya sok selebgram kecil tapi pedesnya nyiksa. Padahal, si cabai merah justru turun harga, mungkin dia lagi puasa popularitas.
Kalau inflasi ini adalah sinetron, maka perannya lengkap, ada tokoh antagonis (harga naik), protagonis (pasar murah), dan figuran yang lupa naskah (distribusi pangan yang belum stabil).
Yang menarik, emas perhiasan juga ikut naik 1,48%, entah siapa yang beli emas pas inflasi, mungkin orang yang pasrah sama harga cabai, tapi masih optimis bisa tunangan.
Asisten III Pemkot Palembang, Pak Ahmad Bastari, dengan semangat seperti motivator MLM, menyampaikan bahwa mereka tetap fokus mengendalikan inflasi.
Salah satunya lewat pasar murah di berbagai kecamatan. Idenya bagus, eksekusinya semoga nggak kayak sinetron stripping rame di awal, kabur di tengah.
Tapi perlu diakui, pasar murah memang jadi oase di padang pasir harga yang makin panas, cuma ya, jangan sampai program ini kayak hujan lima menit di musim kemarau, adem bentar, balik gerah lagi.
Langkah lainnya koordinasi dengan BPS, BI, Bulog, dan para pelaku distribusi. Bagus, ini ibarat main orkes asal jangan ada yang fals atau main sendiri.
Namun, jujur sejenak, program stabilisasi harga dan pasar murah ini ibarat salep gosok, ngurangin rasa sakit, tapi nggak menyembuhkan sumber penyakit.
Kenapa suplai dan distribusi pangan masih begitu-begitu aja tiap tahun?. Kenapa setiap Iduladha atau libur panjang, harga naiknya bisa diduga, seperti prediksi sinetron yang tayang tujuh musim?
Bandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand atau Vietnam, mereka punya sistem distribusi pangan yang kuat, transparan, dan teknologi harga yang real-time.
Bahkan di Ho Chi Minh, harga cabai bisa dipantau pakai aplikasi, bukan pakai perasaan. Di kita? Masih nanya tetangga, atau nunggu emak teriak di pasar.
Mengendalikan inflasi bukan sekadar pasang spanduk dan buka pasar murah di halaman kantor camat. Harus ada perombakan sistemik, dari logistik, pengawasan distribusi, sampai edukasi ke konsumen.
Kalau nggak, ya setiap musim lebaran dan anak sekolah masuk, kita akan mengulang sinetron “Inflasi “Musim yang Tak Pernah Usai”
Sekarang saatnya Palembang berani naik level, jangan cuma jadi penonton yang sabar saat harga naik, tapi jadi pemain utama dalam reformasi sistem pangan dan ekonomi daerah.
Masak kalah sama Sleman yang punya sistem pasar digital? atau Banyuwangi yang udah punya dashboard inflasi real-time di kantor bupati?
Inflasi mirip gorengan tahu isi, dari luar kelihatan kecil dan crispy, tapi begitu digigit, panasnya langsung membakar langit-langit mulut.
Jadi, sebelum dompet rakyat melepuh, karena harga yang terus naik, Pemkot harus terus menyajikan solusi bukan janji gorengan yang cuma wangi tapi kosong isi.
Buat semua, tetap waspada. karena dalam dunia ekonomi, kadang yang naik bukan cuma harga, tapi juga tensi darah dan tagihan utang. Hidup pasar murah! Tapi jangan murahan dalam eksekusi.[***]



