Ketika Sekolah Melupakan Jiwa: Menemukan Kembali Ruh Pendidikan Islami

Oleh: Ir. Salamah Syahabudin, MP, CGR – Pemerhati Pendidikan
Di banyak ruang kelas hari ini, anak-anak duduk berbaris rapi, menatap papan tulis, mencatat, lalu menghafal. Mereka belajar tentang rumus, tanggal, dan teori—namun sering kali lupa bagaimana caranya merasa, menghargai, dan memahami makna hidup.
Sekolah memang masih berjalan, tapi ruhnya, jiwa pendidikannya, seakan hilang di antara tumpukan nilai dan lembar ujian.
Padahal, pendidikan sejati bukan sekadar soal kemampuan membaca atau berhitung, tetapi tentang bagaimana hati dan akal dibentuk bersama. Rasulullah SAW pernah bersabda, *“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Malik). Artinya, inti dari pendidikan dalam Islam adalah pembinaan akhlak dan penyucian jiwa—bukan sekadar transfer pengetahuan.
Kini, sistem pendidikan modern sering terjebak dalam perlombaan angka dan gelar. Anak-anak diukur dari hasil ujian, bukan dari kejujuran, kasih sayang, atau kepeduliannya. Guru pun terkadang lebih sibuk mengejar target kurikulum ketimbang menumbuhkan cinta belajar. Sekolah menjadi tempat mengajar, tapi bukan lagi tempat mendidik hati.
Padahal, setiap anak adalah jiwa yang unik. Mereka bukan bejana kosong yang diisi, melainkan benih yang perlu disirami. Al-Qur’an menegaskan:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah, maka apabila Aku telah menyempurnakannya dan meniupkan ke dalamnya ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya.’”(QS. Shad: 71–72)
Ayat ini mengingatkan bahwa manusia bukan hanya tubuh, tetapi juga ruh — jiwa yang perlu disapa, dibimbing, dan dicerahkan. Namun, banyak sekolah hari ini hanya menyentuh sisi kognitif, melupakan sisi spiritual dan emosional anak didik. Akibatnya, mereka tumbuh pintar tapi mudah gelisah; pandai berdebat tapi miskin empati.
Ruh pendidikan Islami seharusnya hadir dalam setiap ruang belajar: dalam keikhlasan guru, dalam keteladanan, dalam doa sebelum pelajaran dimulai, dan dalam penghormatan antara murid dan guru. Pendidikan yang berjiwa Islam tidak hanya menyiapkan anak untuk dunia, tetapi juga membimbingnya agar selamat di akhirat.
Imam Al-Ghazali dalam *Ihya Ulumuddin* menulis, bahwa tujuan ilmu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan sekadar mencari kedudukan. Maka, jika ilmu menjauhkan kita dari ketaatan, itu bukan ilmu yang bermanfaat. Begitu pula sekolah yang hanya mengajarkan kecerdasan, tanpa membangun keimanan, sesungguhnya sedang kehilangan arah.
Sudah saatnya sekolah-sekolah kita kembali menemukan ruhnya — menjadikan pendidikan sebagai perjalanan membentuk manusia seutuhnya: cerdas pikirannya, lembut hatinya, dan kuat imannya. Guru tidak hanya menjadi pengajar, tapi juga murabbi — pembimbing jiwa yang menuntun dengan kasih sayang.
Dan mungkin, saat ruh itu kembali, anak-anak kita tidak hanya pandai menjawab soal, tapi juga tahu bagaimana bersyukur, menghormati orang tua, menolong sesama, dan menundukkan hati di hadapan Tuhannya.
Karena sejatinya, pendidikan bukan sekadar menyiapkan anak untuk mencari kehidupan, tapi mengajarkan mereka bagaimana hidup dengan makna.



