SEJARAH-BUDAYA

Palembang Darussalam: Jejak Ulama dan Budaya Islam di Tanah Musi ( Bagian VIII )

 

Oleh: Bangun Lubis — Wartawan Muslim

Palembang, kota yang lahir dari denyut panjang peradaban sungai, bukan sekadar kisah tentang perdagangan lada dan emas, tetapi juga tentang cahaya ilmu dan zikir yang menjadikannya dikenal sebagai Darussalam — negeri yang damai di bawah naungan Islam.

Sejak abad ke-17, ketika Kesultanan Palembang Darussalam berdiri, agama bukan sekadar kepercayaan, melainkan fondasi kebudayaan dan tatanan sosial masyarakatnya.

Di masa Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam (1659–1706), Islam tumbuh sebagai ruh pemerintahan. Syariat menjadi dasar hukum, dan adat bersanding indah dengan ajaran agama. Istana Kesultanan di tepian Musi menjadi pusat kebudayaan Islam yang memancarkan pengaruh ke seluruh Sumatera bagian selatan. Dari sana lahir tradisi keilmuan, seni kaligrafi, dan arsitektur religius yang masih dapat disaksikan hingga kini.

Salah satu peninggalan paling nyata adalah Masjid Agung Palembang, yang berdiri megah sejak abad ke-18. Bangunannya memadukan tiga corak budaya: atap limas khas Nusantara, tiang besar berciri Cina, dan menara bergaya Timur Tengah. Simbol harmoni antara budaya dan iman. Dari menara itu, azan berkumandang menembus riuhnya pasar, memanggil masyarakat menuju ketenangan hati.

Selain arsitektur, pengaruh Islam juga mengalir dalam kehidupan sosial masyarakat Palembang. Lihatlah tradisi Arak-arakan Pengantin Palembang yang sarat makna religius. Dalam setiap langkahnya terkandung nilai kesucian pernikahan, penghormatan kepada keluarga, dan adab Islam yang halus. Busana songket dengan motif bunga melati bukan sekadar keindahan kain, melainkan simbol kesucian dan ketulusan hati.

Dari sisi pendidikan, Palembang menjadi pusat penyebaran ilmu agama sejak masa kesultanan. Banyak ulama besar lahir dari sini, di antaranya Syekh Abdus Shamad al-Palimbani, seorang sufi dan pejuang yang menulis kitab Hidayatus Salikin dan Siyarus Salikin.

Karya-karya beliau menjadi rujukan utama dunia Melayu dalam memahami tasawuf dan akhlak. Beliau menanamkan pesan abadi: bahwa jihad terbesar bukan hanya di medan perang, tetapi melawan hawa nafsu dan kezaliman batin.

Ulama lain, seperti Kiai Masagus Abdul Hamid, menjadi tokoh penting dalam masa transisi kolonial. Beliau mengajarkan bahwa ilmu agama harus sejalan dengan cinta tanah air, sebab mencintai negeri adalah bagian dari iman. Dakwahnya tidak hanya menghidupkan masjid, tetapi juga menumbuhkan kesadaran kolektif untuk mempertahankan martabat Islam di bumi Melayu.

Kehidupan masyarakat Palembang pun terjalin erat dengan nilai-nilai Islam. Dalam rumah-rumah panggung di tepian sungai, lantunan ayat Al-Qur’an sering terdengar selepas Maghrib. Anak-anak belajar mengaji di surau, sementara orang tua berdiskusi tentang makna kehidupan di bawah cahaya pelita minyak. Kehangatan itu membentuk karakter masyarakat Palembang yang lembut tutur, santun, dan menjunjung adab.

Baca Juga  Harta Tunggu Tubang Mengalami Revolusi

Budaya Islam juga memperkaya seni tutur dan sastra Palembang. Pantun, gurindam, dan syair tak sekadar hiburan, melainkan sarana dakwah yang halus. Di setiap baitnya tersimpan nasihat moral: tentang pentingnya kejujuran, kasih sayang, dan ketaatan kepada Allah. Begitulah cara orang Palembang menanamkan nilai Islam tanpa paksaan, melalui bahasa hati yang indah.

Kini, di tengah gemerlap modernitas, jejak kejayaan Palembang Darussalam masih terasa. Masjid tua berdiri kokoh, tradisi keagamaan tetap hidup, dan generasi muda mulai kembali menelusuri sejarahnya. Universitas Islam, pesantren, dan majelis taklim tumbuh di berbagai penjuru kota, meneruskan warisan ulama terdahulu yang menanamkan cinta pada ilmu dan akhlak.

Palembang hari ini mungkin tak lagi diperintah oleh sultan, tapi semangat Darussalam masih hidup dalam jiwanya. Ia bukan sekadar kota, melainkan taman peradaban Islam yang menumbuhkan harmoni antara iman dan budaya. Di tepi Sungai Musi yang abadi, seolah terdengar bisikan masa lalu:

“Peliharalah kedamaian, jaga ilmu, dan rawat adab. Sebab itulah harta terbesar dari Palembang Darussalam.”

 

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button