NASIONAL

Kasus Aqua dan Sidak Gubernur Jabar — Saat Publik Makin Selektif Memilih Air Minum Kemasan

 

Oleh: Bangun Lubis – Wartawan Muslim

Di tengah derasnya arus produk air minum kemasan (AMDK) di Indonesia, kepercayaan publik terhadap merek besar kembali diuji. Sorotan tertuju kepada Aqua, setelah Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke pabrik Aqua di Kabupaten Subang, pada 21–22 Oktober 2025.

Temuan Dedi memantik kehebohan nasional: air yang selama ini diklaim berasal dari mata air pegunungan, ternyata diambil dari sumur bor.

Sidak yang Menggegerkan Publik

Dalam video yang beredar luas dan dikutip oleh BandungTV (22/10/2025), Dedi Mulyadi terlihat berdialog langsung dengan staf pabrik. Ia menanyakan dari mana sumber air yang digunakan Aqua di pabrik tersebut. Seorang staf menjawab lugas,

“Airnya dari bawah tanah, Pak. Dari sumur bor,” seperti dikutip dari laporan BandungTV.id berjudul “Gubernur Jabar Bongkar Fakta Mengejutkan, Air Pegunungan Aqua Ternyata dari Sumur Bor”.

Pernyataan itu langsung memicu gelombang reaksi di media sosial. Banyak warganet mengungkapkan kekecewaan dan menyebut, “Selama ini kita merasa minum air pegunungan, ternyata air sumur bor,” sebagaimana dikutip dari Jabar Pikiran Rakyat (24/10/2025).

Ungkapan senada juga muncul di NTVNews.id, yang menulis:“Konsumen Aqua protes keras usai sidak Gubernur Jabar ungkap sumber air dari sumur bor.”

Tanggapan dari Pihak Aqua

Menanggapi polemik itu, pihak Danone-Aqua mengeluarkan klarifikasi resmi. Dalam rilis yang dikutip NTVNews.id (25/10/2025), juru bicara Aqua menjelaskan bahwa air mereka memang diambil melalui “sumur bor” tetapi bukan air tanah biasa, melainkan dari akuifer dalam, yaitu lapisan air bawah tanah alami di kedalaman 60–140 meter.

“Sumber air kami berasal dari akuifer dalam yang terlindungi secara alami oleh lapisan batuan kedap dan bebas dari aktivitas manusia,” tulis keterangan resmi Danone, dikutip dari NTVNews.id.

Baca Juga  Semua Ketua PKK Kecamatan Hingga Ketua Bidang Paparkan dan Koordinasikan Program Tahun 2025 dalam Rakor Kota

Mereka juga menegaskan, seluruh sumber air telah memiliki izin dari pemerintah dan melewati uji laboratorium untuk menjamin kualitas.

Namun, publik menilai istilah “air pegunungan” dalam iklan dan label kemasan seolah menggambarkan air yang mengalir alami dari mata air permukaan, bukan hasil pengeboran. Di sinilah perbedaan persepsi antara klaim pemasaran dan realitas produksi menjadi sorotan.

Publik Kini Makin Selektif

Kasus ini menjadi refleksi bahwa masyarakat Indonesia semakin kritis dan selektif. Seperti ditulis oleh Greenberita.com (25/10/2025), publik kini menuntut transparansi lebih tinggi dari industri air minum, bukan hanya soal rasa dan harga, tapi juga kejujuran asal-usul produk.

Bagi banyak orang, air minum bukan sekadar kebutuhan, tetapi juga simbol kepercayaan dan kemurnian. Ketika publik merasa klaim tidak sepenuhnya sesuai kenyataan, kepercayaan itu terguncang.

Selain itu, sebagaimana dicatat RMOL.id (26/10/2025), isu ini memunculkan diskusi baru tentang hak rakyat atas air bersih dan peran negara dalam memastikan keadilan akses sumber daya air.

“Sebelum menyalahkan Aqua, negara juga harus mampu menyediakan air bersih untuk rakyatnya,” tulis RMOL.id dalam artikelnya berjudul “Negara Sudah Gagal Sediakan Air Bersih untuk Rakyatnya”.

Dampak Lingkungan dan Tanggung Jawab Sosial

Selain soal sumber air, Dedi Mulyadi juga menyoroti dampak lingkungan dan **tanggung jawab sosial perusahaan. Dalam pernyataan yang dikutip Tinewss.com (23/10/2025), ia menyebut,

“Kalau truk-truk ODOL (Over Dimension Over Load) masih digunakan dan masyarakat sekitar tidak mendapat manfaat, izinnya bisa kami evaluasi.”

Ia juga mempertanyakan sejauh mana pabrik memberikan kontribusi kepada warga sekitar. Menurut laporan Greenberita.com, masyarakat setempat di beberapa titik mengeluhkan penurunan debit air tanah sejak pabrik beroperasi, meski pihak Aqua menyatakan pengambilan air telah diawasi sesuai aturan lingkungan.

Baca Juga  Pembangunan Tersandera Korupsi: Luka Sosial yang Menganga

Kejernihan yang Diuji

Kasus Aqua ini menunjukkan bahwa kejernihan air belum tentu sebanding dengan kejernihan informasi. Dalam iklim keterbukaan publik, konsumen menuntut kebenaran, bukan sekadar citra.

Produk sebesar apa pun tidak lagi kebal terhadap pengawasan sosial.

Sebagaimana disampaikan oleh Pakar Komunikasi Universitas Indonesia, Dr. Effendi Gazali, dalam wawancaranya dengan NTVNews.id (27/10/2025),

“Kepercayaan konsumen hari ini tidak ditentukan oleh besar kecilnya merek, tetapi oleh kejujuran komunikasinya.”

Refleksi untuk Industri dan Konsumen

Bagi industri air minum kemasan, pelajaran terpenting dari kasus ini adalah pentingnya transparansi. Produsen tidak cukup hanya memenuhi standar teknis dan izin, tetapi juga wajib memberikan informasi jujur tentang sumber, proses, dan dampak sosial-lingkungan produknya.

Sementara bagi konsumen, kasus ini menjadi pengingat untuk lebih kritis dalam memilih produk. Baca label, periksa izin, dan cari tahu sumber airnya. Keputusan membeli bukan hanya soal harga atau rasa, tetapi juga soal etika dan integritas produsen.

Air dan Amanah

Air adalah amanah Tuhan yang suci, sumber kehidupan bagi semua makhluk. Ia tidak boleh dimonopoli, apalagi dipresentasikan secara keliru.

Sidak Gubernur Jawa Barat membuka mata kita bahwa transparansi adalah bentuk keadilan bagi publik.

Kini, masyarakat Indonesia semakin sadar bahwa kejernihan air harus sebanding dengan kejernihan niat produsen.

Kita belajar, bahwa dalam sebotol air pun, terkandung nilai moral — tentang kejujuran, tanggung jawab, dan kesadaran menjaga bumi yang sama-sama kita hirup dan minum dari sumber yang satu: air kehidupan.

 

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button