
PERAYAAN IDUL ADHA1446 H atau tahun 2025 Masehi tidak terasa sudah di depan mata. Sebagian besar negara di dunia pasti merayakannya. Sadarkah kita dunia sudah berubah, dunia dalam kondisi terengah-engah.
Perubahan iklim memicu bencana hidrometeorologi bertubi, konflik Timur Tengah belum reda, sementara kesenjangan ekonomi semakin menganga. Sebagai jurnalis senior saya ingin memandang momen ini secara lebih kompleks, yakni bahwa Idul Adha bukan hanya ritual ibadah, melainkan seruan Alquran yang hidup untuk menjawab kegelisahan zaman.
Allah SWT berfirman yang artinya “Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang sampai kepada-Nya.” (QS. Al-Hajj: 37).
Ayat ini mengingatkan bahwa esensi kurban bukanlah simbolisme, melainkan komitmen takwa yang melahirkan keadilan. Di tahun 2025, di mana 1% populasi menguasai 45% kekayaan dunia (Oxfam, 2024), refleksi ini menjadi relevan.
Kurban sebagai Kritik Sosial
Memaknai QS. Al-Ma’un dalam Gerakan Antikorupsi. Allah SWT mencela mereka yang beribadah tetapi abai terhadap fakir miskin:“Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan menolong dengan barang berguna.” (QS. Al-Ma’un: 4-7).
Di Indonesia, berbagai kasus korupsi (KPK, 2024) adalah ironi. Saat masyarakat menyembelih hewan kurban, oknum pejabat justru “menyembelih” kepercayaan publik. Padahal, kurban seharusnya mengajarkan keberanian membersihkan diri dari keserakahan, sebagaimana Ibrahim mengorbankan keinginan pribadi untuk perintah Ilahi.
Kurban juga sebagai ritual eadilan Ekonomi, yakni Kurban dan Gerakan Redistribusinya. Seperti data Program Pangan Dunia (WFP, 2024) menunjukkan 783 juta orang mengalami kelaparan kronis. Sementara itu, 26 miliarder menguasai kekayaan setara 3,8 miliar penduduk termiskin (Forbes, 2024). Kurban, dengan mekanisme pembagian daging kepada dhuafa, adalah bentuk mikro keadilan distributif yang diamanahkan Alqura. “Dan pada harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan yang tidak meminta.” (QS. Al-Ma’arij: 24-25).
Dari literasi seperti di Afrika Selatan, gerakan “One Lamb, One Family” (2024) menggalang kurban kolektif: satu keluarga kaya menyisihkan 10% penghasilan untuk membeli hewan kurban bagi lima keluarga miskin. Ini adalah aplikasi modern dari prinsip ta’awun (tolong-menolong) dalam QS. Al-Maidah: 2.
Hijrah Ekologis
Allah SWT mengingatkan“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia.” (QS. Ar-Rum: 41).
Laporan FAO (2024) menyebut peternakan menyumbang 18% emisi metana global, lebih besar dari sektor transportasi. Di Indonesia, pembukaan lahan untuk peternakan kurban menyebabkan deforestasi 45.000 hektar/tahun (KLHK, 2024). Ini bertentangan dengan prinsip ihsan (berbuat baik) kepada lingkungan.
Untuk itu, perlu inovasi Kurban Ramah Lingkungan, seperti melakukan sejumlah kegiatan seperti Kurban Digital dengan Carbon Offset yakni Platform EcoQurban (Arab Saudi, 2024) menghitung jejak karbon setiap hewan kurban dan mengkompensasinya dengan penanaman pohon. Program ini merujuk pada QS. Al-An’am: 141 tentang keseimbangan ekosistem.
Juga ada Lab-Grown Meat untuk Kurban dimana Perusahaan NeoMeat di Dubai (2024) memproduksi daging kultur sel yang telah mendapat sertifikasi halal dari Majelis Ulama Uni Emirat Arab. Teknologi ini mengurangi 85% emisi dibanding peternakan konvensional (Nature Journal, 2024).
Kurban di Tengah Korban Konflik
Selain itu kita perlu menghidupkan QS. Al-Baqarah 177 di Gaza dan Sudan. Dimana daging kurban sebagai senjata melawan blokade. Allah SWT berfirman tentang ciri orang bertakwa:“Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya.” (QS. Al-Baqarah: 177).
Di Gaza, di bawah blokade Israel yang masih berlangsung hingga 2025, distribusi daging kurban menjadi aksi kemanusiaan yang heroik. Laporan UNRWA (2024) menyebut 70% penduduk Gaza bergantung pada bantuan pangan, termasuk daging kurban yang diselundupkan melalui terowongan darurat. Aktivis Islamic Relief melaporkan, 25 ton daging kurban berhasil didistribusikan di Gaza pada 2024 melalui jaringan bawah tanah, meski 30% dihancurkan oleh serangan udara Israel (Sumber: Islamic Relief Gaza Report 2024).
Selain itu, ada juga pengungsi Iklim yaitu kaum dhuafa baru yang terlupakan. Dimana badai Siklon Amara yang melanda Bangladesh April 2025 menyebabkan 1,2 juta orang kehilangan rumah. Mereka adalah korban krisis iklim yang dipicu industrialisasi negara maju. Al-Qur’an mengingatkan:“Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, meskipun terhadap kerabat.” (QS. Al-An’am: 152).
Negara-negara G20, sebagai penyumbang 80% emisi global (Climate Watch, 2024), memiliki kewajiban kurban kolektif: mengalokasikan dana iklim untuk pengungsi seperti di Bangladesh.
Transparansi Kurban
Allah SWT memerintahkan pencatatan transaksi“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282).
Platform QurbanChain (Turki, 2024) menggunakan blockchain untuk memastikan transparansi kurban. Setiap tahap—dari pembelian hewan hingga distribusi—terekam di sistem yang bisa diakses publik. Teknologi ini mengurangi potensi korupsi sebesar 40% (Transparency International, 2024).
Allah SWT berfirman : “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Di Berlin, inisiatif Interfaith Qurban (2024) melibatkan umat Islam, Kristen, dan Yahudi menyembelih hewan bersama, lalu mendistribusikannya ke pengungsi Suriah. Pastor Martin Vogel menyatakan: “Kisah Ibrahim adalah warisan kami semua. Ini tentang mengorbankan ego untuk perdamaian.”
Untuk itulah, Idul Adha 2025 harus menjadi momentum mengurbankan keserakahan sistemik. Jika Ibrahim rela mengorbankan Ismail, maka manusia modern harus berani “menyembelih” kebijakan ekstraktif, pola konsumsi merusak, dan sikap apatis terhadap penderitaan global.
Al-Qur’an mengajarkan”Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2).
Sebagai jurnalis, saya pernah menyaksikan: warga-warga pengungsi, hingga desa terpencil, daging kurban adalah simbol harapan. Namun, harapan itu akan pudar jika kita hanya menjadikan Idul Adha sebagai rutinitas, bukan revolusi moral.
Sebagai jurnalis, saya percaya: setiap kali pisau menyentuh leher hewan qurban, di situlah kita diingatkan—bukan untuk merayakan kematian, tetapi untuk menghidupkan kembali semangat pengurbanan sebagai etika publik. Di tengah gurun krisis kemanusiaan, Idul Adha adalah oasis solidaritas. Marilah kita minum dari sumurnya, sebelum bumi kehausan. (redaksi)