Pasar Loak Cinde, Pasar yang Hidup dari Waktu ke Waktu

Penulis: Aspani Yasland — Wartawan
Entah kapan dan siapa yang memulainya, tapi yang jelas Pasar Loak Cinde — pasar barang bekas terbesar di Kota Palembang — sudah puluhan tahun menjadi denyut kehidupan tersendiri di tengah kota. Pasar ini tumbuh tanpa perencanaan resmi, tanpa konsep tata ruang modern, namun terus hidup dari waktu ke waktu, bahkan makin ramai setiap minggunya.
Setiap Ahad pagi hingga siang hari, kawasan ini selalu dipadati pengunjung dari berbagai penjuru. Mereka datang bukan hanya untuk berbelanja, tapi juga menikmati suasana unik pasar yang menghadirkan aroma nostalgia dan pertemuan sosial yang akrab.
Berada di Jalan Candi Welang, kawasan Pasar Cinde, pasar ini berdampingan langsung dengan Jalan Jenderal Sudirman, urat nadi utama Kota Palembang. Letaknya yang strategis membuat siapa pun mudah menjangkaunya, baik dari arah Ampera, Demang Lebar Daun, maupun dari seberang Ilir.
Kini, jumlah pedagang kian bertambah. Tak hanya penjual onderdil dan barang bekas elektronik, tetapi juga pedagang pakaian bekas impor dari Singapura misalnya — yang akrab disebut “BJ” oleh masyarakat — ikut meramaikan suasana. Lapak-lapak mereka menjalar ke mana-mana, bahkan hingga ke halaman rumah warga sekitar. Lorong-lorong sempit yang biasanya sunyi di hari biasa, berubah menjadi jalur lalu lintas ramai para pencari barang murah dan langka.
Setiap pedagang menggelar dagangannya di tempat yang seadanya: di atas terpal, di pinggir got, bahkan di depan pagar rumah orang. Namun dari kesederhanaan itulah, lahir denyut ekonomi rakyat yang nyata. Tak ada papan nama besar, tak ada promosi digital, tapi orang-orang tetap datang — mencari perabot antik, kamera tua, jam tangan rusak yang masih bisa diperbaiki, atau sekadar baju bekas bermerek yang masih layak pakai.
Pasar Loak Cinde seakan menjadi museum hidup tentang perjalanan konsumsi masyarakat urban Palembang. Barang-barang yang dulu dianggap usang, kembali menemukan nilai di tangan pembeli yang tahu cara menghargai sejarah kecil di balik setiap benda.
Menariknya, hubungan antara pedagang dan pembeli di pasar ini kerap lebih hangat daripada transaksi di pusat perbelanjaan modern. Tawar-menawar berlangsung dengan canda, seringkali diakhiri dengan senyum dan tawa. Tak sedikit pengunjung yang datang hanya untuk berburu cerita, bukan barang.
Fenomena Pasar Loak Cinde menjadi contoh nyata bahwa pasar — dalam pengertian paling sederhana — lahir dari kebutuhan dan interaksi manusia. Ia tumbuh tanpa teori ekonomi yang rumit, tanpa intervensi kebijakan, tapi karena adanya demand dan supply yang saling bertemu di ruang sosial yang cair.
Kini, ekspansi pedagang bahkan telah menjangkau lorong-lorong yang bisa tembus ke Palembang Indah Mall (PIM) — ironi yang menarik antara dua wajah ekonomi kota: pasar rakyat yang tumbuh alami di satu sisi, dan pusat belanja modern di sisi lainnya.
Ahad pagi, 2 November 2025, lorong-lorong kecil di sekitar Pasar Cinde kembali penuh sesak oleh warna, suara, dan kehidupan. Di situlah wajah sejati Palembang berdenyut: hidup, sederhana, tapi penuh makna.
—



